Selasa, 15 Maret 2011

sang pencerah


SANG PENCERAH



Dok. MVP          Masih dalam keribetan libur Lebaran, seorang rekan sempat-sempatnya mengirim SMS sampai 11 kali hanya untuk satu pertanyaan: “Sudah lihat film Sang Pencerah? Nonton deh! Kok menurutku sah-sah saja kalau si santri di situ bisa siapa saja; gak harus sebagai KH Ahmad Dahlan, maksudnya. Hanung mau bicara apa sih sebetulnya...?”
Bahasa senada, agaknya, akan bisa muncul di mana-mana. Namun, tentu, yang berbeda nada bisa jadi juga akan sama banyaknya.Toh, Hanung (Bramantio) – si sutradara yang, agaknya, makin tahu ada “tambang emas tersembunyi” di film-film religi setelah ia sukses menggarap “Ayat-ayat Cinta” tempo hari – dalam wawancara di sebuah stasiun TV, sudah lebih dulu mewanti-wanti, bahwa “Sang Pencerah” bukanlah biografi utuh KH Ahmad Dahlah, tokoh pendiri perkumpulan Muhammadyah itu. “Sang Pencerah” (seperti tagline-nya: “Cerita Tentang KH Ahmad Dahlan”) hanyalah cuplikan, atau potongan, atau sepenggal jejak langkah KH Ahmad Dahlan saat memuliakan umat di Kauman, Yogyakarta, dalam menegakkan syariat Islam yang, menurutnya, benar.
Hanung, memang, mengaku “tak berani” melangkah terlalu jauh. Ini soal agama, tokoh agama, dan perkumpulan agama yang (kini) telah diikuti jutaan umat di Indonesia. Akan ada banyak persinggungan di situ, gesekan, pro-kontra, yang akan langsung melibas “Sang Pencerah” ke dalam kajian yang tak populis – bukan lagi semata film yang notabene harus menghibur dan mendidik.Dok. MVPDok. MVP
Apalagi literatur tentang KH Amad Dahlan (1868-1923) tak terlalu banyak didapat. Kalaupun ada, dan harus dituangkan seluruhnya dalam film, belum tentu data dan fakta itu akan membantu menebalkan ketokohan Ahmad Dahlan sebagai panutan. (Data bahwa KH Ahmad Dahlan pernah menikahi lima wanita; atau fakta kedekatannya dengan berbagai tokoh beda agama hingga membuat Dahlan tak pernah ragu keluar-masuk gereja dengan pakaian haji, mungkin malah akan menjadi kontra-produktif jika divisualkan).
Jadi, Hanung – di bawah bendera PT Multivision Plus (MVP), perusahaan terkemuka yang tak pernah malu-malu memastikan setiap produk filmnya sebagai “karya industri” – sah pula memilih jalan aman. Toh, saat memulai dan mengakhiri “Sang Pencerah”, mereka selalu berkonsultasi dan mendapat dukungan penuh dari PP Muhammadiyah.
Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, bahkan sudah menonton “Sang Pencerah” enam kali, dan tak ada komplain. Wapres Budiono malah berkomentar, "Filmnya memiliki kombinasi hiburan dan pesan yang tepat." Nah, kurang apa lagi?
Tapi, SMS rekan di penghujung libur Lebaran itu bersikeras: “Saya gak yakin perjuangan KH Ahmad Dahlan sedangkal itu! Beliau tokoh hebat; tapi Hanung justru menggampangkan. Hanung dan MPV hanya ingin menjual film yang dari awal sudah mereka prediksi akan menarik jutaan pengikut Muhammadyah berbodong-bondong memenuhi bioskop!”
Haiya, apakah itu salah? Itu strategi bisnis yang justru jitu, kan? Itulah “kerja industri” yang dari awal mereka maksudkan.
Dok. MVPDok. MVPTapi, menggampangkan, eh? Nanti dulu. Di “Sang Pencerah”, terlihat gamblang  bagaimana Dahlan mempresentasikan secara ilmiah (dan susah-payah) bahwa kiblat yang selama ini dijadikan arah shalat kaumnya keliru menghadap. Dahlan, dengan kehalusan tutur kata dan kecerdasannya, mampu “mengislamkan” murid-murid di sekolah bentukan Belanda di Yogyakarta.
Atas semua itu, ia dijuluki kyai kafir oleh sesama pemuka agama setempat, langgarnya dirobohkan massa, bahkan Dahlan sempat hendak menyerah dan membawa keluarganya pergi dari Kauman karena merasa tak sanggup lagi menegakkan syariat Islam di hadapan kaumnya. Seperti rasulnya, Muhamamad SAW, Dahlan ternyata manusia biasa yang bisa merasakan pedih, putus asa, hilang harapan saat melakukan syiar agama – sebelum akhirnya bangkit kembali setelah meyakini apa yang ia lakukan benar di jalan Illahi.
Detail-detail itu cukup tampak terungkap. Ada sebab-akibat, meski hanya seputar lokal. Kalau saja digambarkan juga pada siapa dan seperti apa persisnya Dahlan berguru selama dua kali naik haji (ia menghabiskan hampir sepuluh tahun di tanah suci waktu itu), atau pergulatan bathin dan pikirannya yang lebih intens ketika kecil, pasti penonton akan lebih paham mengapa Dahlan bisa mengkaji agama tidak melulu dengan hati, tapi juga akal dan logika (ia mencuri sesajen di bawah pohon beringin tua yang dipersembahkan penduduk kampung untuk memperoleh berkah dari Tuhan, kemudian membagi-bagikannya pada orang miskin, karena meyakini Allah Maha Tahu dan Maha Mendengar doa setiap umat-Nya meski tanpa sesajen – nah, dari mana pemikiran seperti itu ada padanya?).
Namun, dalam durasi nyaris dua jam, Hanung sudah memutuskan tak ingin memperpanjang urusan pernak-pernik itu; dan seperti membiarkan setiap pemeran menginterprestasi sendiri apa yang dimaui skenario dan apa yang seharusnya benar-benar terjadi di kehidupan Dahlan sesungguhnya. Pada titik inilah keliaran fantasi dan imajinasi penonton seakan dibetot-betot ke sana-sini: kadang masuk ke kehidupan Kauman yang kental di awal 1900-an, lalu mendadak dihentakkan ke masa kini saat para pelakon yang seharusnya berperilaku bak penduduk Jawa tempo doeloe tahu-tahu berbicara dengan dialek cespleng bak di sinetron-sinetron yang kian intens bergentayangan di televisi.Dok. MVPDok. MVP
Maka, SMS si rekan yang mengganggu libur Lebaran itu kembali protes: “Mosok Hanung memaksakan Zaskia Mecca, isterinya itu, jadi Walidah, isteri KH Ahmad Dahlan! Yang bener aja! Juga ada Ihsan “Indonesia Idol” sebagai Ahmad Dahlan remaja, terus Giring “Nidji”, Joshua yang dulu penyanyi cilik itu, plus seabrek bintang sinetron! Mereka disuruh bertarung akting sama Slamet Rahardjo, Ikranegara, Sudjiwo Tedjo! Halah, halah.... Lukman Sardi pun, yang katanya udah dikesting abis-abisan, tetep aja kedodoran memerankan KH Ahmad Dahlan yang seharusnya berkharisma, dan santun, dan cerdas....”
Ah ya, jadi di situ mungkin masalahnya, dan bukan soal baru, pasti. Tapi, kita memang belum punya aktor macam Ben Kinsley yang langsung dapat Oscar begitu main sebagai Gandhi, dan sayang saja cuma ada satu Christine Hakim yang bisa total menyublim sebagai Tjoet Nyak Dhien dahulukala, atau Deddy Mizwar di Nagabonar (Seri 1), atau El Manik di November 1828....
Tapi, mosok iya sih cuma gara-gara itu terus rusak susu sebelanga? Dan, SMS si rekan di penghujung Lebaran itu langsung menyalak: ”Bukan begitu. Kita nonton Sang Pencerah biar dapat pencerahan, kan? Bukan pencurhatan?”
Halah, silakan nonton kalau begitu, lalu curhatlah sepuasnya....

0 komentar:

Posting Komentar

Animasi Monster

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com